Sibertangerang, Kota Tangerang – Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) Cabang Tangerang Raya angkat bicara soal Putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta pusat terkait gugatan Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menghasilkan kontroversi menjelang pemilu 2024.
Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Permahi Tangerang Raya, Fadly Wijaya mengatakan, menurutnya putusan itu jelas tidak mengetahui kewenangan Pengadilan Negeri dan melanggar kode etik sebagai lembaga penegak hukum.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 jelas inskonstitusional.
“Perlu adanya peninjauan kembali terhadap putusan majelis hakim pengadilan negeri (PN) Jakarta pusat oleh Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) karena kami menduga dalam keputusan Majelis hakim Jakarta pusat tidak mengetahui kewenangan dari pada Pengadilan negeri,” ucap Ariman.
Lebih lanjut, Fadly menjelaskan, hal ini secara tidak langsung menimbulkan penundaan pemilihan umum. PN Jakarta Pusat pun langsung memerintahkan untuk menunda pemilihan umum, yang sebelumnya telah di tentukan pada 14 Februari 2024 oleh KPU RI.
“Kalau tidak adanya Putusan PN Jakarta Pusat terkait gugatan Partai Prima terhadap KPU, tentunya Pemilu akan diadakan di tanggal yang ditetapkan, namun jika begini, kemungkinan Pemilu diadakan ditanggal yang berbeda,” jelasnya.
Untuk itu, Fadly menegaskan, dua lembaga khusus Permahu Tangerang yakni Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum (LKBH) dan Lembaga Konsultasi dan Penyuluhan Hukum (LKPPH) untuk mendesak MA dan KY memeriksa majelis hakim yang mengadili perkara No. 757/Pdt.G/2022/PN jkt. Pst. atas dugaan pelanggaran kode etik dan profesionalisme, terkait faktor eksternal dan internal yang mengakibatkan majelis mengambil keputusan. Sehingga mencederai Demokrasi di negera Republik Indonesia.
“Kewenangan pengadilan Negeri di atur dalam UU No. 02 tahun 1986 BAB III Pasal 50 Tentang kekuasaan pengadilan hal ini perlu di verifikasi ulang lagi oleh MA dan KY untuk menjelma kasus yang terjadi di pn jakarta pusat, dan ini sangat mencederai pengadilan negeri sebagai penegak hukum di mata masyarakat,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Fadly menerangkan, sesuai kewenangan Komisi Yudisial pada Undangan – Undang Nomor 18 Tahun 2011 Pasal 13 yang berbunyi:
1.Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan.
2.Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim
3.Menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) bersama-sama dengan Mahkamah Agung.
4.Menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
“Hal itu perlu di lakukan penindakan yang tegas terhadap majelis hakim pengadilan negeri Jakarta Pusat, supaya masyarakat tidak membangun stigma buruk terhadap pengadilan negeri se Indonesia, karena bisa meningkatkan ketidak percayaan masyarakat terhadap lembaga penegakkan hukum di Indonesia, dan Mahkama Agung (MA) harus memberikan sanksi atau mengeluarkan kebijakan terhadap majelis hakim PN Jakarta pusat atas putusan gugatan Partai Prima” terangnya.
Fadly menambahkan, kewenangan Mahkama Agung (MA) dalam menindak Majelis hakim melalui ketua PN Jakarta Pusat ketika terjadi penyalahgunaan putusan, diatur dalam UU No. 3 Tahun 2009 atas perubahan UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
“Jika belum ada tindakan dari pihak yang berwenang kami sepakat melakukan audensi ke MA dan KY untuk kita kawal permasalahan penyalahgunaan kewenangan Majelis hakim pengadilan negeri Jakarta Pusat,” tegasnya.
Untuk diketahui, belakangan ini Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjadi pusat perhatian publik atas putusannya yang kontroversi mengabulkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Partai Prima) yang dilayangkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 8 Desember 2022, dengan nomor register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, untuk menunda Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.